Selasa, 19 Juni 2012

Jebakan dalam Revitalisasi Pasar di Kota Malang


PADA saat Kementerian Perdagangann bertekad merevitalisasi pasar tradisional, dua Pasar Besar di Kota Malang, yakni Pasar Blimbing dan Pasar Dinoyo, saat ini tengah disulap menjadi mal dan apartemen. Tarik ulur antara Pemkot Malang dengan para pedagang tradisional di gedung dewan sudah berakhir. Kedua pihak sepakat bila kedua pusat belanja “wong cilik” itu dihancurkan dan digantikan dengan pusat belanja serta hunian bagi kalangan berduit.
Meski demikian pihak investor berjanji tidak akan menggusur para pedagang asli, yang sudah menempati dan mengais rejeki di tempat tersebut. Namun demikian menyangkut site plan tampaknya masih belum ada kata sepakat. P3D (Persatuan Pedagang Pasar Dinoyo), berkeinginan lahan pasar di kawasan barat Kota Malang itu dibagi menjadi dua. Yang sebelah barat diperuntukan untuk mal, sedangkan sebelah timur tetap untuk pasar tradisional. Permasalahan yang nyaris sama juga terjadi pada rencana revitalisasi Pasar Blimbing.
Berdasarkan rancangan perjanjian kerjasama antara Pemkot Malang, baik dengan investor Pasar Dinoyo maupun Pasar Blimbing, terungkap bahwa kebijakan tersebut murni ide dari pihak investor. Dalam salah satu pasal perjanjian kerjasama tersebut, bentuk kerjasama dalam hal ini adalah Bangun Guna Serah. Maksudnya,  pemanfaatan barang milik Pemkot Malang dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian dikelola pihak investor dalam jangka waktu tertentu yang disepakati. Selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya itu kepada Pemkot Malang setelah berakhirnya jangka waktu.
Untuk mengoptimalkan luas lahan, pada bekas lahan Pasar Blimbing akan dibangun pasar modern dan apartemen. Lokasi bagi pedagang tradisional memang tetap ada, tapi lokasinya –dan tentu saja sarana dan prasarananya– tetap kalah dengan mal. Sedangkan pada bekas lahan Pasar Dinoyo, akan dibangun pasar modern berdampingan dengan pasar tradisional. Logika pembangunan yang menjungkirbalikan kebijakan pemerintah pusat, hanya demi peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) semata.

Jerat Hukum
Setidaknya ada beberapa jerat hukum yang bakal merugikan para pedagang tradisional dalam proyek revitalisasi Pasar Dinoyo maupun Pasar Blimbing. Antara lain, dalam perjanjian kerjasama itu bentuk kerjasamanya adalah Bangun Guna Serah, yakni pemanfaatan barang milik daerah (Pemerintah Kota Malang) dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, yang kemudian dikelola pihak investor dalam jangka waktu tertentu. Selanjutnya tanah dan bangunannya diserahkan kembali kepada Pemkot Malang setelah berakhirnya jangka waktu.
Yang perlu mendapatkan perhatian dalam klausul perjanjian tersebut, seperti dalam perkara yang sama di pelbagai daerah, banyak menimbulkan kerawanan (baca: kerugian) bagi Pemerintah Daerah bersangkutan oleh sebab ketiadaan klausul perjanjian yang memberikan batasan masa perjanjian kerjasama dengan pihak investor, sehingga pihak investor dapat beberapa kali melakukan perjanjian perpanjangan pengelolaan kembali kedua obyek pasar daerah tersebut.
Berikutnya, ketika perjanjian diakhiri serta tidak diperpanjang kembali, dan kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah bersangkutan, baik tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya di atasnya, yang secara kualitas sudah tidak layak  dimanfaatkan. Dengan kata lain mengalami kerusakan yang membutuhkan dana rakyat (baca: APBD) untuk memperbaikinya. Dalam situasi demikian, biasanya Pemerintah Daerah bersangkutan akan menawarkan kembali kepada investor lain.
Pula, dalam perjanjian dimaksud  pihak investor bakal mendapatkan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) bersamaan dengan rekomendasi dari Pemkot Malang untuk mengurus Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama investor di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL). Secara legal formal hak tersebut memberikan hak sepenuhnya kepada pihak investor untuk menjaminkan dan/atau mengagunkan Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama investor di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL) berikut fasilitas pendukungnya baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak ketiga.
Dengan hak menjaminkan dan/atau mengagunkan bangunan baik sebagian maupun keseluruhan pada obyek perjanjian dimaksud kepada pihak lain berikut Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama investor tersebut, tentu bakal menimbulkan kerawanan khususnya bagi pedagang tradisional. Misal, terjadi wan-prestasi yang dilakukan oleh pihak investor terhadap Bank Umum/Lembaga Keuangan pemberi kredit, meski telah yang mempunyai program asuransi surety bond  (perjanjian asuransi yang melibatkan penanggung/penjamin) dengan perjanjian pengikatan tersendiri dari perjanjian pokoknya), posisi hukum obyek perjanjian berupa barang milik daerah (baca: aset Pemkot Malang), tetap dapat dibebani sita jaminan (conservatoir beslag). Bahkan dapat dilakukan sita eksekusi oleh pihak pengadilan atas permohonan pihak ketiga selaku pemberi kredit.
Bilamana terjadi tindakan sita jaminan (conservatoir beslag), bahkan sita eksekusi (executoriaal beslag) oleh pihak pengadilan atas permohonan pihak ketiga selaku pemberi kredit, tidak ada perlindungan hukum yang cukup kuat bagi para pedagang –baik pedagang tradisional, pedagang pada mall/pasar swalayan bersangkutan, maupun penghuni apartemen– guna mempertahankan hak-haknya. Kecuali melakukan gugatan hukum secara perdata di pengadilan yang membutuhkan biaya cukup besar dan jangka waktu yang lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar