PADA saat Kementerian
Perdagangann bertekad merevitalisasi pasar tradisional, dua Pasar Besar di Kota
Malang, yakni Pasar Blimbing dan Pasar Dinoyo, saat ini tengah disulap menjadi
mal dan apartemen. Tarik ulur antara Pemkot Malang dengan para pedagang
tradisional di gedung dewan sudah berakhir. Kedua pihak sepakat bila kedua
pusat belanja “wong cilik” itu dihancurkan dan digantikan dengan pusat belanja
serta hunian bagi kalangan berduit.
Meski demikian
pihak investor berjanji tidak akan menggusur para pedagang asli, yang sudah
menempati dan mengais rejeki di tempat tersebut. Namun demikian menyangkut site plan tampaknya masih belum ada kata
sepakat. P3D (Persatuan Pedagang Pasar Dinoyo), berkeinginan lahan pasar di
kawasan barat Kota Malang itu dibagi menjadi dua. Yang sebelah barat
diperuntukan untuk mal, sedangkan sebelah timur tetap untuk pasar tradisional.
Permasalahan yang nyaris sama juga terjadi pada rencana revitalisasi Pasar
Blimbing.
Berdasarkan
rancangan perjanjian kerjasama antara Pemkot Malang, baik dengan investor Pasar
Dinoyo maupun Pasar Blimbing, terungkap bahwa kebijakan tersebut murni ide dari
pihak investor. Dalam salah satu pasal perjanjian kerjasama tersebut, bentuk
kerjasama dalam hal ini adalah Bangun Guna Serah. Maksudnya, pemanfaatan barang milik Pemkot Malang dengan
cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian
dikelola pihak investor dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.
Selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya itu kepada Pemkot Malang setelah berakhirnya jangka waktu.
Untuk
mengoptimalkan luas lahan, pada bekas lahan Pasar Blimbing akan dibangun pasar
modern dan apartemen. Lokasi bagi pedagang tradisional memang tetap ada, tapi
lokasinya –dan tentu saja sarana dan prasarananya– tetap kalah dengan mal.
Sedangkan pada bekas lahan Pasar Dinoyo, akan dibangun pasar modern
berdampingan dengan pasar tradisional. Logika pembangunan yang
menjungkirbalikan kebijakan pemerintah pusat, hanya demi peningkatan PAD
(Pendapatan Asli Daerah) semata.
Jerat Hukum
Setidaknya ada
beberapa jerat hukum yang bakal merugikan para pedagang tradisional dalam
proyek revitalisasi Pasar Dinoyo maupun Pasar Blimbing. Antara lain, dalam
perjanjian kerjasama itu bentuk kerjasamanya adalah Bangun Guna Serah, yakni
pemanfaatan barang milik daerah (Pemerintah Kota Malang) dengan cara mendirikan
bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, yang kemudian dikelola pihak
investor dalam jangka waktu tertentu. Selanjutnya tanah dan bangunannya diserahkan
kembali kepada Pemkot Malang setelah berakhirnya jangka waktu.
Yang
perlu mendapatkan perhatian dalam klausul perjanjian tersebut, seperti dalam
perkara yang sama di pelbagai daerah, banyak menimbulkan kerawanan (baca:
kerugian) bagi Pemerintah Daerah bersangkutan oleh sebab ketiadaan klausul
perjanjian yang memberikan batasan masa perjanjian kerjasama dengan pihak
investor, sehingga pihak investor dapat beberapa kali melakukan perjanjian perpanjangan
pengelolaan kembali kedua obyek pasar daerah tersebut.
Berikutnya,
ketika perjanjian diakhiri serta tidak diperpanjang kembali, dan kemudian
diserahkan kepada Pemerintah Daerah bersangkutan, baik tanah beserta bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitasnya di atasnya, yang secara kualitas sudah
tidak layak dimanfaatkan. Dengan kata
lain mengalami kerusakan yang membutuhkan dana rakyat (baca: APBD) untuk
memperbaikinya. Dalam situasi demikian, biasanya Pemerintah Daerah bersangkutan
akan menawarkan kembali kepada investor lain.
Pula,
dalam perjanjian dimaksud pihak investor
bakal mendapatkan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) bersamaan dengan rekomendasi
dari Pemkot Malang untuk mengurus Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama investor di
atas tanah Hak Pengelolaan (HPL). Secara legal formal hak tersebut memberikan
hak sepenuhnya kepada pihak investor untuk menjaminkan dan/atau mengagunkan Hak
Guna Bangunan (HGB) atas nama investor di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL)
berikut fasilitas pendukungnya baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak
ketiga.
Dengan
hak menjaminkan dan/atau mengagunkan bangunan baik sebagian maupun keseluruhan
pada obyek perjanjian dimaksud kepada pihak lain berikut Hak Guna Bangunan (HGB)
atas nama investor tersebut, tentu bakal menimbulkan kerawanan khususnya bagi
pedagang tradisional. Misal, terjadi wan-prestasi yang dilakukan oleh pihak
investor terhadap Bank Umum/Lembaga Keuangan pemberi kredit, meski telah yang
mempunyai program asuransi surety bond (perjanjian asuransi yang melibatkan
penanggung/penjamin) dengan perjanjian pengikatan tersendiri dari perjanjian
pokoknya), posisi hukum obyek perjanjian berupa barang milik daerah (baca: aset
Pemkot Malang), tetap dapat dibebani sita jaminan (conservatoir beslag). Bahkan
dapat dilakukan sita eksekusi oleh pihak pengadilan atas permohonan pihak
ketiga selaku pemberi kredit.
Bilamana
terjadi tindakan sita jaminan (conservatoir beslag), bahkan sita
eksekusi (executoriaal beslag) oleh pihak pengadilan atas permohonan
pihak ketiga selaku pemberi kredit, tidak ada perlindungan hukum yang cukup
kuat bagi para pedagang –baik pedagang tradisional, pedagang pada mall/pasar
swalayan bersangkutan, maupun penghuni apartemen– guna mempertahankan
hak-haknya. Kecuali melakukan gugatan hukum secara perdata di pengadilan yang
membutuhkan biaya cukup besar dan jangka waktu yang lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar